Senin, 23 Mei 2011

PETA DINDING


Guru PMP itu masih membenci saya. Untungnya saya tak pernah ambil pusing karena saya punya banyak tenaga untuk melakukan banyak hal, termasuk di hokum tanpa sebab. Pernah saya dihukum membuat peta dunia di dinding lorong masuk sekolah hanya gara-gara melempar surat kecil, pantasnya sih hanya sekedar pesan, ke teman. Waktu itu saya melihat dia tak serius menyuruh. Tetapi saya menantang diri sendiri akan membuatnya hanya untuk menghentikan ulahnya yang terus mencari kelemahan saya.

Sampai di rumah saya baru sadar kalau pekerjaan itu sangat besar. Saya kembali ke sekolah sore harinya dan memandangi dinding kosong itu. “ Di sini,”  pikir saya.
Saya mengukur dan mengamati dinding itu lama-lama.

 “Bagaimana saya memulainya?” Saya tak habis pikir, mengapa hati saya begitu keras melebihi dinding tembok ini, hanya untuk menaklukkan emosi guru SMP itu. Padahal kalau saya biarkan saja omongannya, dia toh juga akan diam, paling-paling menyeringai puas sudah memarahi saya, dan pasti Kepala Sekolah akan membela saya lagi.

Di rumah saya banyak tanya kepada kakak. Kelihatannya dia kaget dengan niat saya membuat peta di dinding. Tapi saya tahu dia pasti akan membantu saya, paling tidak mencari ide jalan keluarnya.

“Peta itu dibuat dari semen saja!” katanya sambil membawa peta dunia.

“Kau tahu cara membuat peta?” tanyanya sambil menyerahkan peta di meja. Saya menggeleng. Lalu membuka peta itu. Haaa…?? Besar sekali.

“Kau buat dulu skala dengan menggaris-garis di peta ini. Ukurannya harus sama tak terlewat semili pun. Lalu nanti kau lakukan seperti itu di dinding tembok. Ukurannya kamu kalikan terserah maumu…” Kakak saya ini memang pintar.

Esok harinya seusai sekolah, saya tak pulang. Menunggu sekolah sepi tanpa orang. Saya meminjam tangga bambu yang lebar seperti ‘bangku panjang’ tetapi tinggi. Biasanya itu digunakan untuk ‘melabur’ tembok oleh para tukang. Itu milik Pak Kebun. Saya mulai mengukur dengan penggaris kayu yang panjangnya semeter. Betuk sikunya benar-benar saya perhatikan. Dari peta, saya membuat skala satu banding lima.

Begitu  asyiknya, saya tak memperhatikan ada guru Ekonomi yang memperhatikan saya dari bawah tangga yang saya duduki.

“ Kau jadi mau membuat peta?” Saya tersentak kaget.

“ Tentu saja.”

Dia berlalu masuk ke halaman dalam sekolah. Beberapa saat dia mucul lagi mendekati tempat saya. Lalu dia ikut naik dan duduk di sebelah saya. Dengan penggaris yang lain dia ikut membuat skala peta. Saya tertawa. Guru itu namanya Pak Mashuri. Kumisnya lebat dan kulitnya hitam.

Sambil menggambar peta di tembok, saya mengenal nama-nama Negara dan kota besar. Pak Mashuri banyak cerita. Ketika sampai pada teluk Persia, saya berhenti sejenak. “Inikah teluk yang diperebutkan Amerika dan Sovyet saat ini?”, tanya saya.
.
Saat itu perang dunia tak ada hentinya. Judulnya ‘Krisis Teluk’. Setiap kali ‘Dunia Dalam Berita’, selalu ada berita perang. Peluru kendali berseliweran, tampak jelas di layar kaca. Meski tak tahu sebab perang itu terjadi, saya jadi bisa mengenal dan tahu letaknya di peta.

Proses menggambar dengan pensil sudah selesai. Saya mengerjakan selama dua hari. Lalu tiba saatnya untuk mencukil dindingnya setebal setengah centimeter. Kakak saya banyak membantu mengajari triknya meski cuma sehari saja.

Setiap pagi saya melintasi projek itu. Teman-teman masih belum tahu kalau dinding lorong sekolah itu bercukil-cukil. Mereka kira itu sedang diperbaiki. Saya mengerjakannya setiap sepulang sekolah ketika sudah sepi benar. Ketika sampai tahap menempelkan adonan semen ke tembok, kakak mengingatkan bahwa ketebalan semennya di sesuaikan dengan ketinggian dataran di peta. Itu ditandai dengan warna. Semuanya serba menggunakan skala dan kode.

Menunggu semen kering lama sekali. Hampir seminggu. Ini hari Sabtu, sebentar lagi tahap mewarnai dengan cat. Pada tahap ini beberapa teman mulai menyadari ada gambar di tembok. Tepat hari kesepuluh saya mulai mencat peta. Kakak saya banyak membantu. Tahap ini yang paling saya suka, bermain dengan warna cat. Sampai akhirnya selesai juga peta itu.

Saya lupa bagaimana raut wajah Wakil Kepala Sekolah waktu itu. Kepala Sekolah tersenyum saja karena dia memang mengikuti jalannya pekerjaan saya hampir setiap hari meski tak menunggui. Rumahnya di samping tembok yang saya gambari peta, dalam satu halaman sekolah.

Setelah dua puluh tujuh tahun, anak saya ingin melihat sekolah itu. Saya menyuruhnya turun dari mobil melihat sendiri masuk sampai ke halaman dalam sekolah.

“ Ibuu…..gambar petanya masih ada!” Anak saya berdiri di luar pintu kanan depan mobil. Saya turun dan menggamit tangannya untuk menyeberangi jalan. Sambil berjalan memasuki halaman luar sekolah, saya banyak tersenyum. Seandainya itu saya rasakan sekarang ini, pasti guru PMP itu sudah saya cuci seperti mencuci handuk. Untung saya waktu itu masih belum terpapar polusi preman. Tak ada perayaan untuk meresmikan gambar peta itu. Semua berjalan dengan apa adanya seperti ada lukisan baru datang. Teman-teman saling berdesakan untuk melihat peta itu.

“Melihat apa sih?” tanya saya pada Yuyuk.

“Peta! Hari Sabtu kemarin kan belum ada. Eh..tiba-tiba sekarang ada gambar di tembok lorong”, katanya di depan teman-teman perempuan saya, pagi-pagi sebelum upacara hari Senin dimulai.

Saya melongo. Mungkin mereka pikir saya tertegun seperti melihat sulapan. Padahal saya tertegun karena rupanya selama saya mengerjakan, teman-teman tidak ada yang memperhatikan.


AJ. Boesra

Senin, 23 Mei 2011 06.17 wib

Sabtu, 21 Mei 2011

PRAKTEK APOTEKER

Dokter membuka praktek dengan tulisan di papan nama  PRAKTEK DOKTER.
Nah…kalau apoteker nama tempat prakteknya APOTEK.

Pernahkah Anda memperhatikan papan nama yang terletak di ruang tunggu apotek ketika Anda berada di dalam apotek? Di situ tertera nama apoteker yang berpraktek. Seharusnya Anda menemuinya untuk mendapatkan pelayanan. Bukan orang lain. Kalau tidak ada apotekernya…berarti apotek itu tak ada bedanya dengan toko kelontong yang hanya perlu ijin apotek saja untuk menjual obat. Mereka tidak mementingkan dan menghargai konsumennya.

Saya ingin membagi bahwa di apotek Anda bisa mendapatkan banyak hal yang lebih dari sekedar membeli obat. Anda harus tahu bahwa banyak hak Anda yang harus Anda dapatkan ketika Anda berada di apotek. Sudahkah Anda tahu bahwa….

  1. Apotek adalah tempat praktek apoteker. Pengelolaannya dan segala sesuatunya adalah tanggung jawab apoteker. Sebelum membeli obat, tanyakan siapa apoteker yang bertugas jaga waktu itu. Jika Anda hanya mendapati ‘store manager’, dia belum tentu seorang apoteker dan tak memiliki kewenangan sebagai apoteker apalagi memberikan informasi dengan ilmu yang sama seperti apoteker. Jaminan tentang obat yang tepat bagi Anda belum tentu didapatkan setelah Anda keluar dari apotek tersebut, kecuali jika Anda mengalami efek yang merugikan setelah menggunakan obat.

Jadi temukan apoteker langsung setiap Anda membeli obat agar mendapatkan obat yang tepat dan benar serta informasi yang perlu Anda ketahui.

  1. Fungsi apotek selain melayani resep dan menyalurkan (menjual) perbekalan farmasi, juga memberikan informasi tentang obat dan edukasi kepada konsumen. Apotek yang komunikatif dikelola oleh apoteker yang bertanggungjawab dan siap memberitahu segala hal yang terkait dengan obat yang dibeli oleh konsumen.

Anda boleh menanyakan informasi seputar obat, seperti cara pemakaian obat atau alat kesehatan, cara menyimpannya di rumah, kapan kadaluwarsa, ciri-ciri obat yang tak layak dipakai selama penyimpanan, berapa lama obat dapat disimpan, efek samping setelah mengkonsumsi obat itu hingga bagaimana cara obat itu bekerja dalam tubuh.

Sepaham apa pun Anda sebelumnya tentang obat yang Anda beli, tentu akan lebih meyakinkan jika Anda mendapat informasi langsung dari apoteker.

Hanya tanyakan kepada apoteker yang bertugas. Asisten apoteker belum tentu mengetahui banyak informasi di atas karena tugasnya hanya membantu kerja apoteker saja dan jawabannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Cara pemakaian obat bermacam-macam, tidak harus selalu ditelan. Ada yang harus dikunyah dulu, dihisap di bawah lidah, dicampur air terlebih dulu, dikumur-kumur tidak ditelan, diminum sebelum atau sesudah makan, atau bahkan bersamaan ketika makan dan hal-hal lain yang perlu perhatian. Seharusnya ini langsung diberitahukan oleh apoteker. Jika tidak, apotek itu tidak edukatif dan tidak informatif.

  1. Kewajiban petugas apotek adalah menyertakan kwitansi (bukti pembayaran) dan turunan resep (apograph atau kopi resep) pada saat menyerahkan obat. Periksalah sebelum keluar dari tempat itu, seperti memeriksa uang kembalian. Jika tak ada keduanya atau salah satunya, segera Anda minta, karena itu sangat penting jika ada kesalahan obat atau Anda intoleransi dengan obat tersebut. Dua bukti itu dapat digunakan untuk pengembalian obat atau pelacakan yang diperlukan oleh pihak yang berwenang.

  1. Setiap apotek punya cara tersendiri untuk mengetahui apakah obat yang diberikan kepada konsumen itu adalah berasal darinya. Jika hendak mengembalikan obat, periksalah dan amati dulu apakah obat yang akan dikembalikan betul-betul berasal dari apotek tersebut.

  1. Turunan resep digunakan untuk mengetahui komposisi obat, obat yang sudah dibeli, obat yang belum dibeli, obat yang dibeli sebagian dan untuk pembelian ulang berkala (pengobatan ulang). Jika sudah dibeli semua, di dalam resep akan tercantum kode khusus. Anda jangan memaksa membeli dengan turunan resep tersebut jika masih terasa sakit, atau jika selang beberapa waktu setelah sembuh, penyakit yang sama datang lagi. Sebaiknya Anda berkonsultasi ke dokter, siapa tahu rasa sakit itu perlu pengobatan yang berbeda dari sebelumnya.

Konsumen boleh selalu minta turunan resep. Ini hak konsumen dan ini penting! Jika konsumen masih sakit atau kambuh lagi sakitnya, tunjukkan turunan resep terakhir kepada dokter. Dengan begitu, konsumen akan membantu proses pemeriksaan dan dokter makin mantap mengambil keputusan,  meneruskan pengobatan lama atau mengganti pengobatan dengan dosis atau obat yang berbeda. Tentunya, dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi pasien, bukan karena lebih mahalnya.

Jangan sekali-kali menggunakan turunan resep yang sama untuk memberikan obat kepada orang lain, meskipun Anda kira sakitnya sama dengan yang pernah Anda alami. Anda tak mempunyai ilmu cukup untuk melakukan diagnosa sendiri.

Anda tak perlu menanyakan obat itu untuk sakit apa, cukup tanyakan khasiat obat dan bagaimana obat ini bekerja mempengaruhi tubuh Anda, karena jika jawabannya melenceng dari yang diderita , Anda akan bingung sendiri. Bisa jadi dokter meresepkan obat yang diindikasikan tidak umum. Misalnya, obat alergi ditujukan untuk merangsang nafsu makan. Sebaiknya Anda menanyakan langsung pada dokter pada saat menerima resep. Dokter yang bijaksana akan memberitahukan kondisi Anda, lalu menyerahkan resep sambil memberitahukan hal-hal singkat mengenai obat yang diresepkan. Bahkan menawarkan alternative obat dengan khasiat sama untuk meringankan pasien membeli obat sesuai dengan isi kantongnya.

Ada dokter yang tidak komunikatif. Diam saja ketika memeriksa pasien, lalu menulis resep dan menyerahkan resep ke pasien. Adalah hak pasien untuk diberitahu kejadian apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuhnya serta diberitahu perlakuan apa yang akan dilakukan dokter terhadapnya, termasuk memberikan obat apa saja.
Dokter yang diam saja tak bersuara, itu bisa jadi memang dia tidak komunikatif atau menghindari pertanyaan karena ilmunya tak cukup. Yang jelas dia telah menelantarkan orang yang telah membayarnya dan tak mencukupi hak pasiennya.

Begitu pula dengan apoteker. Karena apotek itu tempat praktek apoteker, seharusnya yang menemui Anda di apotek itu ya apoteker. Bukan asistennya apalagi kasir apotek. Kalau di apotek tidak ada apoteker, sama seperti ketika Anda bertemu dengan ‘dokter diam saja’ itu.

Beberapa apotek sekarang malah aneh lagi. Ada ‘store manager’ apotek. Itu terjadi di jaringan apotek yang namanya sama. Store manager bukanlah apoteker. Jas putihnya saja yang mengelabuhi konsumen seolah dia sudah menjadi apoteker. Padahal ilmu tentang obatnya hanya diperoleh dari training 3 bulan oleh trainer yang bukan sekelas dosen pula. Coba Anda tanyakan pada store manager itu, apakah dia adalah apoteker? Jika bukan apoteker lupakan dia. Informasinya selalu menyesatkan.

Anda adalah konsumen dari pelayanan medis di rumah sakit, praktek dokter dan apotek. Pahamilah bahwa Anda memerlukan mereka untuk memperbaiki kondisi kesehatan Anda. Dan Anda membayar penuh untuk itu. Jadi selalu telitilah dengan perlakuan apa saja yang mereka lakukan. Gunakan hak Anda untuk bertanya dan mendapatkan perlakuan yang sangat baik. Karena Anda membayar untuk tubuh Anda. Jika hak Anda tak terpenuhi, hanya karena tidak ada komunikasi, maka Anda lah yang menanggung 2 kerugian. Rugi telah mengeluarkan uang untuk menambah beban sakit.

Keep Smart even in strange place..!!

AJ. Boesra


Sabtu, 21 Mei 09.36 wib

Jumat, 20 Mei 2011

'Pithik Walik' Dan Drama...

Guru PMP saya, dia laki-laki, selalu benci kalau melihat saya ‘bergerak’…sedikit saja saya bergerak bahkan bernafas pasti saya disetrap. Pernah saya disetrap berdiri di lapangan seusai upacara, hanya karena ketika berbaris saat upacara saya menertawakan gadis ayam yang bulunya terbalik semua dan kepalanya gundul. Bukan betuk tubuhnya yang saya tertawakan, melainkan dia selalu berada di bawah tubuh saya dekat-dekat dengan kaki saya terus. Padahal itu dalam barisan. Tentu saja teman-teman saya pada cekikikan. Itulah sebabnya saya yang disetrap sementara teman-teman saya yang ikut cekikikan lolos, hanya karena biang keroknya saya.

Belakangan saya baru tahu kalau guru itu, sebelum saya memutuskan pindah sekolah ke desa itu,  kos di rumah saya. Tepat seminggu sebelum saya datang ke desa itu, dia ‘melarikan diri’ tanpa pamit ke Ibu ketika ke luar dari rumah. Entah apa sebabnya. Saya tak pernah ambil pusing mengapa dia begitu membenci saya. Pernah saya dipanggil ke ruangannya, dia menjabat Wakil Kepala Sekolah, diinterogasi bersama satu teman saya lainnya selama satu jam, kira-kira lebih. Itu pun saya juga sudah lupa mengapa harus diperlakukan seperti itu. Baru berhenti diomeli, ketika Kepala Sekolah melintasi ruangannya dan memergoki saya dan teman saya sedang diberi petuah. Mungkin raut muka saya waktu itu sedikit tegang. Kepala Sekolah lalu masuk ruangan.

Ada apa kalian di sini? Harusnya kan berada di kelas…cepat masuk kelas !!”

Saya langsung bangkit dan tak pamit ke pemilik ruangan. Lalu lari gedabrukan bersama teman saya.  Lega.

Di kelas saya duduk dengan Ivanda Ratih. Saya jadi tidak mengikuti pelajaran Biologi waktu itu. Pelajaran selanjutnya gurunya tidak masuk, jadi saya ngelayap ke belakang ruangan. Pelajaran diganti dengan latihan drama yang dilatih oleh Pak Mashuri. Dia sebenarnya guru Bahasa Indonesia untuk kelas tiga. Seperti biasa saya selalu tidak menyimak kata-kata guru dengan baik pada awal pertemuan. Sampai saya lihat teman-teman pada berdiri saling berpindah tempat duduk. Saya tidak tahu menggunakan rumus apa relokasinya. Jadi saya tetap tinggal di tempat semula. Lalu, Latifah teman saya berteriak sambil membentak-bentak tak karuan. Yang lain tiba-tiba ikut bicara sambil berteriak. Suara mereka keras sekali dan tidak sopan. Di dalam kelas kok gaduh.

Saya bertanya pada teman sebelah saya yang dari tadi diam saja. “ Ada apa ini?”

“Latihan emosi, mengeluarkan kemarahan.” Bisik teman saya tadi.

Wah… tentu saja saya harus ikut ambil bagian, pikir saya. Kalau tidak nanti tidak dapat nilai. Tiba-tiba sesuatu keluar dari mulut saya tanpa saya sadari. “Ya!”

Pak Mashuri menoleh karena suara saya. Sambil masih memandangi saya seolah menunggu kalimat apalagi yang akan keluar dari mulut saya. Saya diam sambil memandangnya pula. Tak tahu harus bicara apa. Mulut saya belum terkatup pula. Lama saya dan dia saling pandang, lalu dia memalingkan muka menoleh ke suara yang lain. Ah…..sial. saya tidak bisa mengekspresikan kemarahan. Teman-teman semua bisa. Saya hanya menoleh ke kanan kiri melihat teman-teman yang saling bersahutan membentuk sebuah lakon yang mengalir. Pasti saya akan mendapat nilai nol lagi.

Tiba-tiba Farid berdiri sambil berbicara apa saya tak tahu. Kakinya menginjak kaki kanan saya. Badan Farid besar sekali, dia memanggil dirinya sendiri ‘Varieth Jedud’ (bahasa Madura, jedud = gendut).

“Whuaaaaa…….!!” Saya berteriak keras sekali karena kesakitan. Farid itu paling gemuk di kelas, sedang saya paling kurus di kelas. Bagaimana rasanya orang paling gemuk menginjak kaki orang paling kurus.

“Kakimu…!! Ga sopan nginjak kaki orang! Badan pake di miring-miringkan lagi…ngapain sih…?? Pasti bau kakimu…?? Sana pergi …jauh-jauh…!!” Saya  berteriak keras sekali sambil mendorong badannya. Memang saya sengaja berteriak karena suasana kelas waktu itu gaduh sekali. Jadi saya tidak takut dimarahi karena berteriak.

Farid langsung minta maaf. “Aduh…Ay….sori..sori...aku ga sengaja….,”sambil melepaskan sepatu ‘Bruce Lee’ saya. Hanya Farid yang memanggil saya ‘Ay’.

Farid memijit jari-jari kaki kanan saya. Tiba-tiba Pak Mashuri mendekat, melihat kami berdua di deret bangku paling belakang. Yang lain pada diam.

“Ekspresif !!” kata Pak Mashuri. “Kalian melakukannya dengan baik sekali….. natural sekali.” Sambil tersenyum lebar mendekati saya dan Farid.

Saya tertawa menyeringai. Lupa pada rasa sakitnya. Lalu saya menepuk bahu Farid dan menepuk telapak tangan kanannya dengan telapak tangan kanan saya.

Bebas sudah harus berakting.



AJ. Boesra


Jumat, 20 Mei 2011 18.00 wib

'SMP' Saya.....

MEMBUAT PANTUN

Waktu saya SMP, saya pernah menulis cerita bersambung untuk majalah dinding sekolah. Seminggu sebelumnya saya mengeluarkan cerita pendek, masih ingat judulnya “Semalam Yang Terindah”. Saya selalu tersenyum kalau membaca judul itu sekarang karena konotasinya berbeda dengan ketika saya masih SMP dulu.

Tulisan saya di majalah dinding panjang sekali. Ceritanya memang panjang, makanya dibuat bersambung terbit tiap minggu. Saya menggunakan nama samaran ‘Janish Marisco Steve’, nama tokoh di cerita saya juga. Sampai sekarang teman-teman tidak ada yang tahu kalau itu tulisan saya. Guru pembimbingnya cantik. Dia guru bahasa Indonesia. Kalau berbicara titik artikulasinya tepat. Dan vokalnya kuat sekali. Tata bahasanya bagus sekali. Ada sub pelajaran khusus dalam pelajaran bahasa Indonesia yang membuat saya senang, KESUSASTERAAN. Guru menyebutnya begitu.

Mungkin karena dia cantik dan matanya selalu berbinar, maka cara mengajarkannya membuat saya bergairah. Aura saya tertangkap oleh Bu Yani. Saya menyukai pelajaran ini, meski matematika juga jago, pembukuan dan bahasa Inggris saya selalu seratus. Biologi saya juga suka tapi saya pernah mendapat angka 4 di raport ketika kelas dua. Itu sebabnya, saya tak kaget juga ketika anak saya mendapat nilai 12 di raportnya untuk pelajaran GK (general knowledge) ketika kelas 5 SD. Dia baru pindah tiga bulan sebelumnya dan itu sekolah yang gurunya bule semua. Teman sekelasnya hanya tiga orang, satu dari UK, satu dari Philipine dan satunya lagi dari Jepang.

Bu Yani mengajarkan majas, prosa dan puisi. Tulisannya di papan tulis sangat indah. Pembacaan puisinya begitu memesona murid. Dan semua tak ada yang malu kalau disuruh ke depan kelas melantunkan puisi. Pernah ketika mendapat tugas membuat pantun, otak saya lagi buntu. Saya tak tahu harus membuat kalimat pantun yang ‘aaaa’. Lalu saya teringat pelajaran qasidah di tempat saya mengaji. Lagunya berpantun. Jenis pantunnya ‘aaaa’. Ah..pasti bu Yani tak pernah tahu lagu ini. Saya menuliskan untuk tugas membuat pantun. Satu bait saja.

“Indung-indung kepala lindung
Hujan di udik di sini mendung
Anak siapa pakai kerudung
Mata melirik kaki kesandung”

Selesai.

Apa yang saya dapat? Setelah dikoreksi semalaman, dan buku dibagikan kembali ke saya, nilainya nol besar. Ada tulisan bu Yani yang indah dengan tinta merah melanjutkan bait pantun berikutnya di bawah pantun tulisan saya.

“Aduh aduh Siti Aisyah
Mandi di kali rambutnya basah
Tidak sembahyang tidak puasa
Di dalam kubur mendapat siksa”

Dan itu kelanjutan lagunya. Saya nyengir dan terpaku membacanya. Bu Yani diam saja melihat saya.

Mungkin hanya Bu Yani yang tahu kalau cerita pendek dan cerita bersambung itu tulisan saya. Tapi saya juga tak diperlakukan istimewa. Hanya satu kali saya ditunjuk untuk membaca naskah surat Ibu Kartini dari bukunya ‘Habis Gelap terbitlah Terang’ saat upacara peringatan ‘Hari Kartini’. Saya memakai kebaya waktu itu.

AJ. Boesra


Jumat, 20 Mei 2011 13.05 wib

Kamis, 19 Mei 2011

BAHAYA OBAT PALSU...

Seorang ibu setengah baya datang sambil marah di sebuah apotek di RS terkemuka di Surabaya. Ia bermaksud mengembalikan obat injeksi yang dikatakan baru dibelinya kemarin sore.

“Ibu harus mendapatkan izin dari dokter bahwa obat ini dikembalikan,” kata karyawati apotek itu dengan ramah.

“Obat ini kelewat mahal. Di apotek lain saya beli seharga tujuh puluh ribu, di sini seratus empatpuluh empat ribu per biji,” bentak ibu itu.

Setelah diteliti oleh apoteker dan di-cross check dengan bagian gudang, barang itu bukan dari apotek itu, artinya dibeli dari tempat lain. Ia mengakui, bahwa ia juga membeli obat serupa pagi harinya dengan harga lebih murah dan menganggap barang itu sama karena jenis atau namanya semua sama lalu minta selisih uangnya dikembalikan. Karena upayanya tak berhasil, ia terus mengomel di dalam apotek sambil memberitahu ke konsumen lain, harga obat di apotek itu kelewat mahal.

Pihak apotek bersikeras tak mau menerima barang itu karena bukan barangnya. Menurut  apotekernya, obat yang dibeli dengan harga murah itu hampir kadaluwarsa. Jadi bisa saja mereka menjual dengan separuh harga. Ibu itu tak menerima keterangan tersebut. Ia ke luar dari apotek sambil mengancam akan mencemarkan nama baik apotek. Di sepanjang lorong rumah sakit ia bercerita kepada perawat dan pengunjung rumah sakit lainnya.

Merasa perlu meluruskan duduk persoalannya, apoteker memanggil detailer perusahaan yang memroduksi obat injeksi tersebut. Oleh detailer, obat ibu itu dibeli dengan harga Rp144.000 per botol. Dari hasil pemeriksaan laboratorium perusahaannya diketahui obat injeksi tersebut palsu, seharusnya berisi antibiotika golongan sefalosporin yang memang mahal, tetapi ini berisi golongan penisilin yang harganya lebih murah seperduapuluh kalinya. Keterangan ini tak bisa dijelaskan lagi kepada ibu itu karena sudah terlanjur pulang dan apotek terlanjur dicaci maki.

Peristiwa itu saya alami pada tahun 2000, ketika saya menjadi pengelola apotek di Surabaya. Ibu itu adalah korban peredaran obat palsu di pasaran. Karena itu, konsumen harus bersikap hati-hati dan waspada terhadap berbagai macam peredaran obat yang ditawarkan.

Obat palsu, memang sangat menyakitkan. Bahkan lebih jahat dari uang palsu. Bukan hanya akan berakibat fatal terhadap pasien atau konsumen, tetapi juga menyusahkan keluarganya. Apotek dan perusahaan farmasi pun ikut terimbas getahnya.  Peredaran obat palsu memang tak seliar VCD bajakan, tetapi efeknya sangat merugikan pasien atau konsumen. Masih bagus kalau harganya murah. Nah... kalau oknum pengedarnya berlindung di balik distributor resmi, bisa jadi harganya sama dengan obat asli, agar tak terlihat palsunya.

Peredaran obat di pasar gelap kini semakin popular, bahkan kini tidak saja melibatkan sales dan pasar gelap saja, oknum dokter bahkan oknum perawat di RS semua dapat terkait dalam jaringannya. Persoalannya, bagaimana kita bisa terhindar dari obat palsu?
Ciri-ciri obat palsu sulit diketahui dengan pasti. Biasanya obat palsu hanya bisa diketahui secara organoleptis, terutama pada kemasannya. Dan ketika peredarannya sudah tercium oleh BPOM maka produsen obat palsu akan segera mengganti kemasannya. Maka sulitlah bagi orang awam untuk mengetahuinya

Hal yang paling bisa Anda lakukan adalah memndapatkan obat itu di tempat resmi sehingga jika kemungkinan buruk terjadi, Anda dapat dengan mudah menuntut atau meminta ganti rugi.

Sebelumnya, Anda harus tahu beda kewenangan antara apotek dengan toko obat. Apotek adalah tempat resmi dan terdaftar sebagai penyalur (penjualan) perbekalan farmasi, mulai dari sediaan obat, obat tradisional hingga alat-alat kesehatan. Penanggung jawab dan pengelola apotek adalah apoteker.  Toko obat berijin hanya boleh menyalurkan obat bebas (tanda lingkaran hijau) dan obat bebas terbatas (tanda lingkaran biru) dan penanggung jawabnya adalah asisten apoteker. Bagaimana jika toko obat itu tak berijin? Anda sama sekali tak akan mendapat kepastian jaminan keamanan terhadap obat.

Ada beberapa hal yang perlu diketahui agar konsumen tak terjebak membeli obat palsu atau obat kadaluwarsa, karena tak semua apotek menjalankan praktek kefarmasiannya dengan baik dan benar. Apalagi tempat-tempat yang tidak seharusnya menjual obat.

Agar Anda aman membeli obat, Anda harus melakukan tindakan yang seksama.

Pertama. Beli obat di apotek. Anda akan mendapat jaminan keamanan dan efektifitas obat terlebih lagi jika ada jaminan purna jual. Tulisan dokter tak selalu seperti cakar ayam, beberapa dokter kini bahkan sudah menggunakan komputer untuk menulis resep. Dengan begitu pasien bisa membaca jelas. Jika kebetulan ada orang yang menawarkan obat yang sama dengan resep dokter tersebut, waspadalah, karena hanya apotek yang boleh menyalurkan obat secara resmi. Siapa tahu obat yang ditawarkan itu adalah obat sisa pasien yang sudah tak dipakai lagi atau obat ‘curian’ dari sales yang seharusnya dijual ke apotek. Obat macam ini, tak menjamin keamanan dan efektifitasnya pada saat penyimpanan. Konsumen tak bisa menuntut jika terjadi ‘kecelakaan’, apalagi mengembalikannya dengan tukar uang.

Kedua. Mintalah turunan resep (apograph atau kopi resep) dan kwitansi pembelian dari apotek. Jika ditemui kerusakan obat sebelum dipakai, Anda bisa mengembalikan ke apotek tadi dengan membawa bukti kwitansi pembelian dan turunan resep. Setelah mengembalikan obat ke apotek, jangan lupa meminta turunan resep yang baru karena di dalamnya akan ditambahkan sejumlah obat yang dikembalikan kecuali kalau mendapat ganti obat yang baik.

Ketiga. Apabila konsumen membeli obat yang sama di apotek yang berbeda atau di tempat lain dan mendapat selisih harga yang sangat jauh, segera amati obat tersebut batas kadaluwarsanya (tertulis ‘expired date’). Jika waktunya hampir berdekatan atau bahkan bersamaan dengan saat pembelian, bisa jadi penjual obat itu sengaja menjual obral daripada tak laku. Tanyakan pada dokter, apakah obat itu masih bisa dikonsumsi. Jika dokter mengatakan ‘tak layak dipakai’, sebaiknya konsumen langsung meminta surat keterangan dari dokter untuk bukti pengembalian obat. Apotek yang baik, pasti akan menerima pengembalian itu, tentunya dengan sikap malu.

Jika Anda membeli di selain apotek, jaminan obat dikembalikan tak mungkin ada. Belum lagi jika terjadi efek yang tidak diinginkan ketika menggunakannya. Anda tak akan dapat berbuat apa-apa selain menyesali diri.

Apakah cukup dengan sikap waspada jika mendapat penawaran obat di pasaran luar? Membeli obat di apotek pun perlu sikap waspada juga.

Maraknya peredaran obat palsu, terlebih kondisi perekonomian kurang mendukung untuk tersedianya obat yang baik dan terjangkau, merangsang konsumen untuk berpaling membeli obat di jalur alternative atau mencari obat di ‘perdagangan gelap’ dan illegal karena lebih ekonomis. Di sisi lain para dokter banyak yang meresepkan obat dengan nama paten bukan nama generik dan tak memberikan alternatif obat murah atau obat generik (obat dengan nama yang sama dengan bahan aktifnya, harganya murah karena disubsidi oleh pemerinah) yang sesuai dengan isi kantong konsumen.

Sudah saatnya Anda memberdayakan diri untuk teliti dan cermat terhadap peredaran obat palsu. Obat palsu tidak hanya berada pada tingkatan perdagangan yang rendah, bahkan bisa masuk dalam tingkat pelayanan kesehatan klas menengah ke atas. Kita tak perlu berharap banyak pada tidakan instansi yang berwenang karena aturan dan sistem pengawasannya sudah jelas. Mereka tak dapat bertindak secepatnya karena begitu banyak materi pemeriksaan yang harus dilakukan. Pun permainan peredaran obat palsu sangat lah rapi sehingga kita sulit menembusnya.

Belilah obat di tempat yang resmi, apotek. Setidaknya Anda dapat menuntut jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda.


AJ. Boesra


Kais, 19 Mei 2011 15.10 wib

Rabu, 18 Mei 2011

Say No To Drug Abuse

Hai....,


Dulu, setiap saya melintasi bundaran jalan Barito-Melawai, saya selalu melihat baliho besar bertuliskan 'Say No To Drug'. Rasanya ada sesuatu yang menahan nafas saya. Begitu kuat. Hingga membuat leher saya seolah bengkak....


Aileen sepuluh tahun waktu itu, klas lima sekolah dasar, sedang menghadapi 'monthly test'. Jenis soalnya adalah True and False.


Pertanyaan : Drugs can help us when we are ill.  (True or False)


Jawab : False.


Oleh gurunya, jawabannya disalahkan. 


"It's wrong, Aileen"


"Why? I saw on the street says ' Say No To Drug'."


Saya menanyakan kepada anak saya mengapa dia menjawab 'false' pada soal tadi. Dia mengatakan, "Bukankah 'drug' itu narkotika , Bu?"


DRUG adalah obat.
Ketika kita salah mengartikan yang sebenarnya maka akan salah semua penggunaannya. Mengapa harus 'No To Drug' ? Padahal jika kita infeksi, kita membutuhkan antibiotika. Ketika demam, kita membutuhkan antipiretika. Ketika bengkak, kita membutuhkan anti inflamasi. Semuanya itu tergolong obat. 


Pemahaman secara umum slogan 'Say No To Drug' itu sungguh menyesatkan. Orang akan beranggapan bahwa yang dimaksud 'drug' itu adalah narkoba, sama seperti anak saya tadi. Lalu yang dijual di apotek-apotek itu apa? Kalau maunya pemda ingin berbahasa trendi seperti anak muda....'ngedrug yok...' lalu digunakan dalam bahasa slogan seperti itu, kan menunjukkan bahwa yang berinisiatif dan yang menyetujui slogan itu lebih 'nyleneh' dari anak-anak pemakai narkoba. 


Bukan 'drug' nya yang kita hindari, melainkan penyalahgunaan obatnya, misalnya CTM sering disalahgunakan penggunaannya dioplos dengan alkohol. 


Penyalahgunaan dan penggunaan yang salah memang dua pekerjaan yang berbeda, baik disengaja maupun tak sengaja dilakukan, tetapi memberikan dampak yang sangat berarti bagi tubuh pemakai. Penggunaan obat yang salah akan mengakibatkan efek yang tidak diinginkan dan merugikan. Sementara penyalahgunaan obat, ini selalu disengaja, diharapkan oleh pemakai akan memberikan efek yang diinginkan, entah itu 'depresant' atau 'stimulant'. Dampaknya yang jelas adalah adiksi atau ketagihan, karena memang efeknya yang diinginkan.


Jadi, bagaimana mungkin kalau kita mengikuti anjuran 'Say No To Drug', apakah kita tak akan menggunakan 'drug' sama sekali? Memang saya lebih memilih tak menggunakan obat ketika saya atau anak saya sakit. Kami hanya mengandalkan tiga unsur alami, yaitu : makan banyak, minum banyak dan tidur pulas. Bagaimana pun 'drug' tetap dibutuhkan. 


So, Say No To Drug Abuse....!!!






AJ. Boesra


Rabu, 18 Mei 2011 23.15wib

Hallooww......

Haloww…..

Saya mencoba menyapa teman-teman di sini, setelah sebelumnya saya suka berinteraksi di facebook. Facebook memang cara yang paling mudah untuk berinteraksi dengan banyak orang, mulai dari menemukan teman-teman lama, saudara yang terdampar di tempat lain dan lamaaa sekali tak ada kabarnya, teman-teman baru…istilah saya untuk mereka ‘teman-teman masa depan’, dan teman-teman yang jauh sekali dari jangkauan… dari beberapa Negara yang tak pernah saya kunjungi.

Di sini saya akan berinteraksi satu arah. Hampir sama dengan ketika saya menulis ‘note’ di facebook. Anda tetap bisa mengomentari tulisan saya. Hanya saja, saya perlu mengenalkan pada Anda kalau tulisan saya biasanya sedikit menohok, maksudnya langsung tanpa tedeng aling-aling supaya mudah dimengerti. Saya bukan sastrawan (dalam bahasa Indonesia akhiran ‘wan’ juga bisa digunakan untuk perempuan) yang pandai menghaluskan bahasa dengan ungkapan-ungkapan beradab.

Kalau Anda mengenal saya sebelumnya adalah penulis buku keterapilan menyulam, maka di sini Anda akan tahu kalau saya sebenarnya bukan seperti itu. Sulaman atau menyulam hanyalah salah satu objek tulisan saya saja. Nanti saya akan lebih terbuka lagi dalam melepas tulisan-tulisan saya untuk dibaca. Ada sedikit cukilan novel saya, cerita pendek, ulasan sosial, tentang sulaman, tanaman dan obat tentunya….karena itu latar belakang ilmu yang paling saya minati. Jangan lupa, saya juga akan membuka pemahaman tentang pengguna jasa pelayanan medis. .istilah yang saya gunakan adalah konsumen medis, juga tentang menggunakan obat secara bijak…naa..yang ini adalah informasi obat atau edukasi obat.

Begitu ya… sampai ketemu nanti…

AJ. Boesra

Rabu, 18 Mei 2011 10.20 wib