Jumat, 20 Mei 2011

'Pithik Walik' Dan Drama...

Guru PMP saya, dia laki-laki, selalu benci kalau melihat saya ‘bergerak’…sedikit saja saya bergerak bahkan bernafas pasti saya disetrap. Pernah saya disetrap berdiri di lapangan seusai upacara, hanya karena ketika berbaris saat upacara saya menertawakan gadis ayam yang bulunya terbalik semua dan kepalanya gundul. Bukan betuk tubuhnya yang saya tertawakan, melainkan dia selalu berada di bawah tubuh saya dekat-dekat dengan kaki saya terus. Padahal itu dalam barisan. Tentu saja teman-teman saya pada cekikikan. Itulah sebabnya saya yang disetrap sementara teman-teman saya yang ikut cekikikan lolos, hanya karena biang keroknya saya.

Belakangan saya baru tahu kalau guru itu, sebelum saya memutuskan pindah sekolah ke desa itu,  kos di rumah saya. Tepat seminggu sebelum saya datang ke desa itu, dia ‘melarikan diri’ tanpa pamit ke Ibu ketika ke luar dari rumah. Entah apa sebabnya. Saya tak pernah ambil pusing mengapa dia begitu membenci saya. Pernah saya dipanggil ke ruangannya, dia menjabat Wakil Kepala Sekolah, diinterogasi bersama satu teman saya lainnya selama satu jam, kira-kira lebih. Itu pun saya juga sudah lupa mengapa harus diperlakukan seperti itu. Baru berhenti diomeli, ketika Kepala Sekolah melintasi ruangannya dan memergoki saya dan teman saya sedang diberi petuah. Mungkin raut muka saya waktu itu sedikit tegang. Kepala Sekolah lalu masuk ruangan.

Ada apa kalian di sini? Harusnya kan berada di kelas…cepat masuk kelas !!”

Saya langsung bangkit dan tak pamit ke pemilik ruangan. Lalu lari gedabrukan bersama teman saya.  Lega.

Di kelas saya duduk dengan Ivanda Ratih. Saya jadi tidak mengikuti pelajaran Biologi waktu itu. Pelajaran selanjutnya gurunya tidak masuk, jadi saya ngelayap ke belakang ruangan. Pelajaran diganti dengan latihan drama yang dilatih oleh Pak Mashuri. Dia sebenarnya guru Bahasa Indonesia untuk kelas tiga. Seperti biasa saya selalu tidak menyimak kata-kata guru dengan baik pada awal pertemuan. Sampai saya lihat teman-teman pada berdiri saling berpindah tempat duduk. Saya tidak tahu menggunakan rumus apa relokasinya. Jadi saya tetap tinggal di tempat semula. Lalu, Latifah teman saya berteriak sambil membentak-bentak tak karuan. Yang lain tiba-tiba ikut bicara sambil berteriak. Suara mereka keras sekali dan tidak sopan. Di dalam kelas kok gaduh.

Saya bertanya pada teman sebelah saya yang dari tadi diam saja. “ Ada apa ini?”

“Latihan emosi, mengeluarkan kemarahan.” Bisik teman saya tadi.

Wah… tentu saja saya harus ikut ambil bagian, pikir saya. Kalau tidak nanti tidak dapat nilai. Tiba-tiba sesuatu keluar dari mulut saya tanpa saya sadari. “Ya!”

Pak Mashuri menoleh karena suara saya. Sambil masih memandangi saya seolah menunggu kalimat apalagi yang akan keluar dari mulut saya. Saya diam sambil memandangnya pula. Tak tahu harus bicara apa. Mulut saya belum terkatup pula. Lama saya dan dia saling pandang, lalu dia memalingkan muka menoleh ke suara yang lain. Ah…..sial. saya tidak bisa mengekspresikan kemarahan. Teman-teman semua bisa. Saya hanya menoleh ke kanan kiri melihat teman-teman yang saling bersahutan membentuk sebuah lakon yang mengalir. Pasti saya akan mendapat nilai nol lagi.

Tiba-tiba Farid berdiri sambil berbicara apa saya tak tahu. Kakinya menginjak kaki kanan saya. Badan Farid besar sekali, dia memanggil dirinya sendiri ‘Varieth Jedud’ (bahasa Madura, jedud = gendut).

“Whuaaaaa…….!!” Saya berteriak keras sekali karena kesakitan. Farid itu paling gemuk di kelas, sedang saya paling kurus di kelas. Bagaimana rasanya orang paling gemuk menginjak kaki orang paling kurus.

“Kakimu…!! Ga sopan nginjak kaki orang! Badan pake di miring-miringkan lagi…ngapain sih…?? Pasti bau kakimu…?? Sana pergi …jauh-jauh…!!” Saya  berteriak keras sekali sambil mendorong badannya. Memang saya sengaja berteriak karena suasana kelas waktu itu gaduh sekali. Jadi saya tidak takut dimarahi karena berteriak.

Farid langsung minta maaf. “Aduh…Ay….sori..sori...aku ga sengaja….,”sambil melepaskan sepatu ‘Bruce Lee’ saya. Hanya Farid yang memanggil saya ‘Ay’.

Farid memijit jari-jari kaki kanan saya. Tiba-tiba Pak Mashuri mendekat, melihat kami berdua di deret bangku paling belakang. Yang lain pada diam.

“Ekspresif !!” kata Pak Mashuri. “Kalian melakukannya dengan baik sekali….. natural sekali.” Sambil tersenyum lebar mendekati saya dan Farid.

Saya tertawa menyeringai. Lupa pada rasa sakitnya. Lalu saya menepuk bahu Farid dan menepuk telapak tangan kanannya dengan telapak tangan kanan saya.

Bebas sudah harus berakting.



AJ. Boesra


Jumat, 20 Mei 2011 18.00 wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar