Seorang ibu setengah baya datang sambil marah di sebuah apotek di RS terkemuka di Surabaya . Ia bermaksud mengembalikan obat injeksi yang dikatakan baru dibelinya kemarin sore.
“Ibu harus mendapatkan izin dari dokter bahwa obat ini dikembalikan,” kata karyawati apotek itu dengan ramah.
“Obat ini kelewat mahal. Di apotek lain saya beli seharga tujuh puluh ribu, di sini seratus empatpuluh empat ribu per biji,” bentak ibu itu.
Setelah diteliti oleh apoteker dan di-cross check dengan bagian gudang, barang itu bukan dari apotek itu, artinya dibeli dari tempat lain. Ia mengakui, bahwa ia juga membeli obat serupa pagi harinya dengan harga lebih murah dan menganggap barang itu sama karena jenis atau namanya semua sama lalu minta selisih uangnya dikembalikan. Karena upayanya tak berhasil, ia terus mengomel di dalam apotek sambil memberitahu ke konsumen lain, harga obat di apotek itu kelewat mahal.
Pihak apotek bersikeras tak mau menerima barang itu karena bukan barangnya. Menurut apotekernya, obat yang dibeli dengan harga murah itu hampir kadaluwarsa. Jadi bisa saja mereka menjual dengan separuh harga. Ibu itu tak menerima keterangan tersebut. Ia ke luar dari apotek sambil mengancam akan mencemarkan nama baik apotek. Di sepanjang lorong rumah sakit ia bercerita kepada perawat dan pengunjung rumah sakit lainnya.
Merasa perlu meluruskan duduk persoalannya, apoteker memanggil detailer perusahaan yang memroduksi obat injeksi tersebut. Oleh detailer, obat ibu itu dibeli dengan harga Rp144.000 per botol. Dari hasil pemeriksaan laboratorium perusahaannya diketahui obat injeksi tersebut palsu, seharusnya berisi antibiotika golongan sefalosporin yang memang mahal, tetapi ini berisi golongan penisilin yang harganya lebih murah seperduapuluh kalinya. Keterangan ini tak bisa dijelaskan lagi kepada ibu itu karena sudah terlanjur pulang dan apotek terlanjur dicaci maki.
Peristiwa itu saya alami pada tahun 2000, ketika saya menjadi pengelola apotek di Surabaya . Ibu itu adalah korban peredaran obat palsu di pasaran. Karena itu, konsumen harus bersikap hati-hati dan waspada terhadap berbagai macam peredaran obat yang ditawarkan.
Obat palsu, memang sangat menyakitkan. Bahkan lebih jahat dari uang palsu. Bukan hanya akan berakibat fatal terhadap pasien atau konsumen, tetapi juga menyusahkan keluarganya. Apotek dan perusahaan farmasi pun ikut terimbas getahnya. Peredaran obat palsu memang tak seliar VCD bajakan, tetapi efeknya sangat merugikan pasien atau konsumen. Masih bagus kalau harganya murah. Nah... kalau oknum pengedarnya berlindung di balik distributor resmi, bisa jadi harganya sama dengan obat asli, agar tak terlihat palsunya.
Peredaran obat di pasar gelap kini semakin popular, bahkan kini tidak saja melibatkan sales dan pasar gelap saja, oknum dokter bahkan oknum perawat di RS semua dapat terkait dalam jaringannya. Persoalannya, bagaimana kita bisa terhindar dari obat palsu?
Ciri-ciri obat palsu sulit diketahui dengan pasti. Biasanya obat palsu hanya bisa diketahui secara organoleptis, terutama pada kemasannya. Dan ketika peredarannya sudah tercium oleh BPOM maka produsen obat palsu akan segera mengganti kemasannya. Maka sulitlah bagi orang awam untuk mengetahuinya
Hal yang paling bisa Anda lakukan adalah memndapatkan obat itu di tempat resmi sehingga jika kemungkinan buruk terjadi, Anda dapat dengan mudah menuntut atau meminta ganti rugi.
Sebelumnya, Anda harus tahu beda kewenangan antara apotek dengan toko obat. Apotek adalah tempat resmi dan terdaftar sebagai penyalur (penjualan) perbekalan farmasi, mulai dari sediaan obat, obat tradisional hingga alat-alat kesehatan. Penanggung jawab dan pengelola apotek adalah apoteker. Toko obat berijin hanya boleh menyalurkan obat bebas (tanda lingkaran hijau) dan obat bebas terbatas (tanda lingkaran biru) dan penanggung jawabnya adalah asisten apoteker. Bagaimana jika toko obat itu tak berijin? Anda sama sekali tak akan mendapat kepastian jaminan keamanan terhadap obat.
Agar Anda aman membeli obat, Anda harus melakukan tindakan yang seksama.
Pertama. Beli obat di apotek. Anda akan mendapat jaminan keamanan dan efektifitas obat terlebih lagi jika ada jaminan purna jual. Tulisan dokter tak selalu seperti cakar ayam, beberapa dokter kini bahkan sudah menggunakan komputer untuk menulis resep. Dengan begitu pasien bisa membaca jelas. Jika kebetulan ada orang yang menawarkan obat yang sama dengan resep dokter tersebut, waspadalah, karena hanya apotek yang boleh menyalurkan obat secara resmi. Siapa tahu obat yang ditawarkan itu adalah obat sisa pasien yang sudah tak dipakai lagi atau obat ‘curian’ dari sales yang seharusnya dijual ke apotek. Obat macam ini, tak menjamin keamanan dan efektifitasnya pada saat penyimpanan. Konsumen tak bisa menuntut jika terjadi ‘kecelakaan’, apalagi mengembalikannya dengan tukar uang.
Kedua. Mintalah turunan resep (apograph atau kopi resep) dan kwitansi pembelian dari apotek. Jika ditemui kerusakan obat sebelum dipakai, Anda bisa mengembalikan ke apotek tadi dengan membawa bukti kwitansi pembelian dan turunan resep. Setelah mengembalikan obat ke apotek, jangan lupa meminta turunan resep yang baru karena di dalamnya akan ditambahkan sejumlah obat yang dikembalikan kecuali kalau mendapat ganti obat yang baik.
Ketiga. Apabila konsumen membeli obat yang sama di apotek yang berbeda atau di tempat lain dan mendapat selisih harga yang sangat jauh, segera amati obat tersebut batas kadaluwarsanya (tertulis ‘expired date’). Jika waktunya hampir berdekatan atau bahkan bersamaan dengan saat pembelian, bisa jadi penjual obat itu sengaja menjual obral daripada tak laku. Tanyakan pada dokter, apakah obat itu masih bisa dikonsumsi. Jika dokter mengatakan ‘tak layak dipakai’, sebaiknya konsumen langsung meminta surat keterangan dari dokter untuk bukti pengembalian obat. Apotek yang baik, pasti akan menerima pengembalian itu, tentunya dengan sikap malu.
Jika Anda membeli di selain apotek, jaminan obat dikembalikan tak mungkin ada. Belum lagi jika terjadi efek yang tidak diinginkan ketika menggunakannya. Anda tak akan dapat berbuat apa-apa selain menyesali diri.
Apakah cukup dengan sikap waspada jika mendapat penawaran obat di pasaran luar? Membeli obat di apotek pun perlu sikap waspada juga.
Maraknya peredaran obat palsu, terlebih kondisi perekonomian kurang mendukung untuk tersedianya obat yang baik dan terjangkau, merangsang konsumen untuk berpaling membeli obat di jalur alternative atau mencari obat di ‘perdagangan gelap’ dan illegal karena lebih ekonomis. Di sisi lain para dokter banyak yang meresepkan obat dengan nama paten bukan nama generik dan tak memberikan alternatif obat murah atau obat generik (obat dengan nama yang sama dengan bahan aktifnya, harganya murah karena disubsidi oleh pemerinah) yang sesuai dengan isi kantong konsumen.
Sudah saatnya Anda memberdayakan diri untuk teliti dan cermat terhadap peredaran obat palsu. Obat palsu tidak hanya berada pada tingkatan perdagangan yang rendah, bahkan bisa masuk dalam tingkat pelayanan kesehatan klas menengah ke atas. Kita tak perlu berharap banyak pada tidakan instansi yang berwenang karena aturan dan sistem pengawasannya sudah jelas. Mereka tak dapat bertindak secepatnya karena begitu banyak materi pemeriksaan yang harus dilakukan. Pun permainan peredaran obat palsu sangat lah rapi sehingga kita sulit menembusnya.
Belilah obat di tempat yang resmi, apotek. Setidaknya Anda dapat menuntut jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda.
AJ. Boesra
Kais, 19 Mei 2011 15.10 wib
Kais, 19 Mei 2011 15.10 wib
Hello Aj, on the advice of Susan, I became your follower .. but you can not read your post without the translator.
BalasHapusWe have a friend on facebook and would like to follow you here but ..... I do not understand anything of what they publish as written in your language.
Greetings from Italy.
Morena
Hi.Morena thank you being my follower.....next I try to write in engish or translate in English too.. Ok..
BalasHapus