Guru PMP itu masih membenci saya. Untungnya saya tak pernah ambil pusing karena saya punya banyak tenaga untuk melakukan banyak hal, termasuk di hokum tanpa sebab. Pernah saya dihukum membuat peta dunia di dinding lorong masuk sekolah hanya gara-gara melempar surat kecil, pantasnya sih hanya sekedar pesan, ke teman. Waktu itu saya melihat dia tak serius menyuruh. Tetapi saya menantang diri sendiri akan membuatnya hanya untuk menghentikan ulahnya yang terus mencari kelemahan saya.
Sampai di rumah saya baru sadar kalau pekerjaan itu sangat besar. Saya kembali ke sekolah sore harinya dan memandangi dinding kosong itu. “ Di sini,” pikir saya.
Saya mengukur dan mengamati dinding itu lama-lama.
“Bagaimana saya memulainya?” Saya tak habis pikir, mengapa hati saya begitu keras melebihi dinding tembok ini, hanya untuk menaklukkan emosi guru SMP itu. Padahal kalau saya biarkan saja omongannya, dia toh juga akan diam, paling-paling menyeringai puas sudah memarahi saya, dan pasti Kepala Sekolah akan membela saya lagi.
Di rumah saya banyak tanya kepada kakak. Kelihatannya dia kaget dengan niat saya membuat peta di dinding. Tapi saya tahu dia pasti akan membantu saya, paling tidak mencari ide jalan keluarnya.
“Peta itu dibuat dari semen saja!” katanya sambil membawa peta dunia.
“Kau tahu cara membuat peta?” tanyanya sambil menyerahkan peta di meja. Saya menggeleng. Lalu membuka peta itu. Haaa…?? Besar sekali.
“Kau buat dulu skala dengan menggaris-garis di peta ini. Ukurannya harus sama tak terlewat semili pun. Lalu nanti kau lakukan seperti itu di dinding tembok. Ukurannya kamu kalikan terserah maumu…” Kakak saya ini memang pintar.
Esok harinya seusai sekolah, saya tak pulang. Menunggu sekolah sepi tanpa orang. Saya meminjam tangga bambu yang lebar seperti ‘bangku panjang’ tetapi tinggi. Biasanya itu digunakan untuk ‘melabur’ tembok oleh para tukang. Itu milik Pak Kebun. Saya mulai mengukur dengan penggaris kayu yang panjangnya semeter. Betuk sikunya benar-benar saya perhatikan. Dari peta, saya membuat skala satu banding lima.
Begitu asyiknya, saya tak memperhatikan ada guru Ekonomi yang memperhatikan saya dari bawah tangga yang saya duduki.
“ Kau jadi mau membuat peta?” Saya tersentak kaget.
“ Tentu saja.”
Dia berlalu masuk ke halaman dalam sekolah. Beberapa saat dia mucul lagi mendekati tempat saya. Lalu dia ikut naik dan duduk di sebelah saya. Dengan penggaris yang lain dia ikut membuat skala peta. Saya tertawa. Guru itu namanya Pak Mashuri. Kumisnya lebat dan kulitnya hitam.
Sambil menggambar peta di tembok, saya mengenal nama-nama Negara dan kota besar. Pak Mashuri banyak cerita. Ketika sampai pada teluk Persia, saya berhenti sejenak. “Inikah teluk yang diperebutkan Amerika dan Sovyet saat ini?”, tanya saya.
.
Saat itu perang dunia tak ada hentinya. Judulnya ‘Krisis Teluk’. Setiap kali ‘Dunia Dalam Berita’, selalu ada berita perang. Peluru kendali berseliweran, tampak jelas di layar kaca. Meski tak tahu sebab perang itu terjadi, saya jadi bisa mengenal dan tahu letaknya di peta.
Proses menggambar dengan pensil sudah selesai. Saya mengerjakan selama dua hari. Lalu tiba saatnya untuk mencukil dindingnya setebal setengah centimeter. Kakak saya banyak membantu mengajari triknya meski cuma sehari saja.
Setiap pagi saya melintasi projek itu. Teman-teman masih belum tahu kalau dinding lorong sekolah itu bercukil-cukil. Mereka kira itu sedang diperbaiki. Saya mengerjakannya setiap sepulang sekolah ketika sudah sepi benar. Ketika sampai tahap menempelkan adonan semen ke tembok, kakak mengingatkan bahwa ketebalan semennya di sesuaikan dengan ketinggian dataran di peta. Itu ditandai dengan warna. Semuanya serba menggunakan skala dan kode.
Menunggu semen kering lama sekali. Hampir seminggu. Ini hari Sabtu, sebentar lagi tahap mewarnai dengan cat. Pada tahap ini beberapa teman mulai menyadari ada gambar di tembok. Tepat hari kesepuluh saya mulai mencat peta. Kakak saya banyak membantu. Tahap ini yang paling saya suka, bermain dengan warna cat. Sampai akhirnya selesai juga peta itu.
Saya lupa bagaimana raut wajah Wakil Kepala Sekolah waktu itu. Kepala Sekolah tersenyum saja karena dia memang mengikuti jalannya pekerjaan saya hampir setiap hari meski tak menunggui. Rumahnya di samping tembok yang saya gambari peta, dalam satu halaman sekolah.
Setelah dua puluh tujuh tahun, anak saya ingin melihat sekolah itu. Saya menyuruhnya turun dari mobil melihat sendiri masuk sampai ke halaman dalam sekolah.
“ Ibuu…..gambar petanya masih ada!” Anak saya berdiri di luar pintu kanan depan mobil. Saya turun dan menggamit tangannya untuk menyeberangi jalan. Sambil berjalan memasuki halaman luar sekolah, saya banyak tersenyum. Seandainya itu saya rasakan sekarang ini, pasti guru PMP itu sudah saya cuci seperti mencuci handuk. Untung saya waktu itu masih belum terpapar polusi preman. Tak ada perayaan untuk meresmikan gambar peta itu. Semua berjalan dengan apa adanya seperti ada lukisan baru datang. Teman-teman saling berdesakan untuk melihat peta itu.
“Melihat apa sih?” tanya saya pada Yuyuk.
“Peta! Hari Sabtu kemarin kan belum ada. Eh..tiba-tiba sekarang ada gambar di tembok lorong”, katanya di depan teman-teman perempuan saya, pagi-pagi sebelum upacara hari Senin dimulai.
Saya melongo. Mungkin mereka pikir saya tertegun seperti melihat sulapan. Padahal saya tertegun karena rupanya selama saya mengerjakan, teman-teman tidak ada yang memperhatikan.
AJ. Boesra
Senin, 23 Mei 2011 06.17 wib